Senin, 21 Oktober 2013

Afgan - Jodoh Pasti Bertemu

Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya
Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu
Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya
Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu
Jika aku (jika aku) bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu
(jika aku bukan jalanmu)
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu

Pink Feat Nate Ruess - Just Give Me A Reason

Right from the start
You were a thief
You stole my heart
And I your willing victim

I let you see the parts of me
That weren’t all that pretty
And with every touch you fixed them

Now you’ve been talking in your sleep oh oh
Things you never say to me oh oh
Tell me that you’ve had enough
Of our love, our love


Just give me a reason
Just a little bit’s enough
Just a second we’re not broken just bent
And we can learn to love again

It’s in the stars
It’s been written in the scars on our hearts
We’re not broken just bent
And we can learn to love again

Where all of this is coming from
I thought that we were fine
(Oh we had everything)
Your head is running wild again
My dear we still have everythin’
And it’s all in your mind
(Yeah but this is happenin’)

You’ve been havin’ real bad dreams oh oh
You used to lie so close to me oh oh
There’s nothing more than empty sheets
Between our love, our love
Oh our love, our love


Just give me a reason
Just a little bit’s enough
Just a second we’re not broken just bent
And we can learn to love again

I never stopped
You’re still written in the scars on my heart
You’re not broken just bent
And we can learn to love again

I’ll fix it for us
We’re collecting dust
But our love’s enough
You’re holding it in
You’re pouring a drink
No nothing is as bad as it seems
We’ll come clean


Just give me a reason
Just a little bit’s enough
Just a second we’re not broken just bent
And we can learn to love again

It’s in the stars
It’s been written in the scars on our hearts
That we’re not broken just bent
And we can learn to love again

Just give me a reason
Just a little bit’s enough
Just a second we’re not broken just bent
And we can learn to love again

It’s in the stars
It’s been written in the scars on our hearts
That we’re not broken just bent
And we can learn to love again
Oh, we can learn to love again
Oh, we can learn to love again
Oh oh, that we’re not broken just bent
And we can learn to love again



Just give me a reason
I’m sorry I don’t understand
Just give me a reason
Oh tear ducts and rust
Just give me a reason


Just give me a reason

3 Composer – Pemberi harapan palsu

Seandainya ku mampu mengulang masa laluku
Tak pernah bermimpi mencintaimu
Kau yang selalu memberi ku satu harapan indah
Yang ternyata kau ingkari sendiri kasih


Dulu kau membuat ku jatuh cinta 
Sekarang cinta ku jatuh terluka
Kau memang pemberi harapan palsu


Seharusnya tak ku percaya
 Karena cintamu tak pernah ada
Ku menyesal terlalu percaya


Dulu kau membuat ku jatuh cinta 
Sekarang cinta ku jatuh terlukaKau memang 
pemberi harapan...


Dulu kau katakan cinta pada
kuKini kau menghilang meninggalkan
kuKau memang pemberi.. pemberi harapan palsu


Dulu kau membuat jatuh cinta jatuh cinta
Kini kau menghilang tinggalkanku  
tinggalkanku Kau memang pemberi.. memang memang memang
Pemberi harapan palsu

konsep ibadah dalam islam

Kata Pengantar

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “KONSEP IBADAH DALAM ISLAM”.

Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.










Jakarta, Oktober 2013
Penulis



DAFTAR ISI

Kata pengantar   ...............................................................................................  ii
Daftar Isi  .........................................................................................................  iii
Bab I
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang  ......................................................................................................  1

Bab II
Pembahasan
2.1  Pengertian Ibadah  ...............................................................................................   2
2.2 Tujuan Ibadah  ......................................................................................................  4
2.3   Dasar-dasar Ibadah  .............................................................................................   5
2.4  Hakikat dan Tujuan Ibadah  .................................................................................   7
2.5  Syarat Diterimanya Ibadah   .................................................................................   8
2.6  Macam-macam ibadah  .........................................................................................  14
2.7  Dalil Macam-Macam Ibadah .................................................................................  17

Bab III
Penutup
3.1 kesimpulan  ..........................................................................................................  20
3.2 penutup  ..............................................................................................................   21
3.3 Daftar pustaka ......................................................................................................  22






BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat diremehkan begitu saja, misalnya :
  • Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan tidak berdusta dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun melontarkan perkataan yang bisa menyakiti hati.
  • Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
  • Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
  • Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang yang lebih tua dari kita.
  • Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
  • Menepati janji.
  • Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar.
  • Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
  • Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan).
  • Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal kita.
  • Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan dimanapun kita berada.
  • Membaca Al Qur’an.
  • Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk bagian dari ibadah.

Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).



BAB II
P E M B A H A S A N

2.1 Pengertian Ibadah

Kata ibadah berasal dari bahasa arab telah menjadi bahasa melayu yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri. Dalam istilah melayu diartikan: perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga diartikan: segalla usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baikterhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta.(Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, hal. 17.)

Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh ( al-tha’ah ),  dan tunduk ( al-khudlu ). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. (Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana. Hal. 278)

Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.

Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya:
“Dan Aku tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka     menyembah-Ku.”  (al-Zariyat/51:56)

Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah al-mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.

Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada Allah.

Dari beberapa keterangan yang dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1.      engikat diri (iltizam) dengan syari’at Allah yang diserukan oleh para rasul-Nya, meliputi perintah , larangan, penghalalan, dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
2.      Ketaatan itu harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah yang paling berhak untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.

Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang dicintai Allah dan    diridhai-Nya, perkataan dan perbuatan lahir dan batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar dll. Jadi meliputi yang fardhu, dan tathawwu’muammalahbahkan akhlak karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah.

2.2 Tujuan Ibadah

Manusia, bahkan seluruh mahluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah hamba-hamba Allah. Hamba sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah mahluk yang dimiliki. Kepemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutklak dan sempurna, oleh karena itu mahluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya kecuali dalam hal yang oleh Alah swt. Telah dianugerahkan untuk dimiliki mahluk-Nya seperti kebebasan memilih walaupun kebebasan itu tidak mengurangi kepemilikan Allah. Atas dasar kepemilikan mutak Allah itu, lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. [M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6.]

Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadahhal ini dapat difahami
dari firman Allah swt. :
  “maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), da bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepad kami.”(QS al-Mu’minun:115)

Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.[Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5
.]


2.3 Dasar-dasar Ibadah

Ibadah harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda,
   “Ada tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik)

Seorang hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1.      Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2.      Maqam tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya karena Allah. Ia harus mampu membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci Allah, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3.      Maqam daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia membenci segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam neraka.

Selanjutnya, cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1.      Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2.      Jihad dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.

Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam beribadah, ia harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan senantiasa khusuk di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu memelihara dan menjaga ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
1)      Seorang hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2)      Seorang hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
3)      Hendaknya hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa bertaubat dari dosa-dosanya.

Kuat lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai dengan kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang senantiasa memenuhi ruang hati.

Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna.
Seorang hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam mengharap rahmat dari Allah. (M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1, Hal. 3)

Ketika ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera menyaksikan karunia dan rahmat Allah. Sesungguhnya,     rahmat-Nya jauh lebih luas daripada segala sesuatu.
Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1)      Kesaksian seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas hamba - hamba-Nya.
2)      Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
3)      Menjaga diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan.

Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu dari ketiga hal tersebut, akan menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa ulama salaf berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij. Namun, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia mukmin yang mengesakan Allah.


2.4  Hakikat dan Tujuan Ibadah

Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.

Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat. [ Abduh Al manar, IBADAH DAN SYARI’AH, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.]

Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya. :
 “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)

Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.

Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini    benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.

Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan hati.


2.5Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang di tolak) sebagaimana sabdah Nabi :
  “ Barang siapa yag beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak ” (HR. Al-Bukhari (no. 2697), Muslim (no.1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah).

(tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-Nya dan pada diri mereka tidak ada rasa takut dan tidak (pula) mereka bersedih hati ” (QS. Al-Baqarah : 112).

“menyerahkan diri,” artinya : “inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman :
  “....maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-Nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalib dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-Nya.” (QS. Al-Khafi : 110)

Yang demikian adalah menifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa Illallaah, Muhammad Rasuulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta menaati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat. (Al-Ubuudiyyah hal : 221-222 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq : ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid).

Ibadah di dalam islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat di hitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam islam semua adalah mudah.

Diantara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.

Kesepuluh :
Mengambil lahiriyah Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan prinsip dasar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Ahlus Sunnah wal jama’ah menjadikan Al-Qur’an dan AS-Sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil atau mempelajari ‘aqidah islam. Seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan AS-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang muslim, dan apa yang dinafikan (ditolak) oleh keduanya, maka wajib bagi seorang muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan melainkan dengan cara berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan AS-Sunnah.

Allah berfirman :
 “dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. ” (QS. Al-Ahzaab : 36)

Sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus mendengar dan taat, serta tidak boleh menolak apa yang datang ari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah menyatakan bahwasannya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti Rasulullah, tidak dikatakan beriman.

Allah berfirman :
  “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima denga sepenuhnya.” (QS. An-Nissa’ : 65)

Allah juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk kembali kepada Al-Qur’an dan AS-Sunnah, manakala mereka perselisihkan. Simaklah firmanya berikut ini :
  “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasull (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman keada Allah dan hari kaemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nissa’ : 59)

Imam Mujahid (wafat th. 103 H) berkata ketika menafsirkan ayat ini : “kembali kepada Allah maksudnya adalah kembali kepada kitab Allah. Sedangkan kembali kepada Rasull maksudnya adalah kembali kepada sunnah rasulullah.” Penafsiran seperti ini juga dilakukan oleh para ulama salaf lainnya. (Tafsiirutb Tbabari (IV/154, no. 9884-9886 ) dan Tafsiir Ibni Katsiir (I/568).)

Hal terbesar yang membedakan antara salaf dengan yang lain dari golongan pelaku bid’ah (ahli bid’ah) adalah Salaf yang menghormati dan menjunjung tinggi sunnah Nabi. Sunnah bagi mereka adalah penjelasan, penafsir dan pengurai Al-Qur’an, baik dalam bidang ‘aqidah maupun syari’ah. Oleh karena itu, Ahlus sunnah wal jama’ah mengambil lahiriyah hadits, tidak menakwilkan werta tidak menolaknya dengan argumentasi yang lemah, sebagaimana ahli kalam yang mengatakan, bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits ahad yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar ilmu da keyakina. Ucapan ahli kalam ini sesat dan menyesatkan.

Imam Asy-Syafi’i melihat bahwa didalam syari’ah, kedudukan As-Sunnah adalah seperti Al-Qur’an. Apa yang ditetapkan dalam As-Sunnah adalah seperti apa yang ditetapkan di dalam Al-Qur’an, dan apa yang diharamkan oleh As-Sunnah sama dengan apa yang diharamkan oleh Al-Qur’an. Sebabnya adalah karena keduanya berasal dari Allah. (manhajul Imam Asy-Syafi’i fii istbatil ‘aqiidah (I/86)).

Kesebelas :
Sunnah Nabi menafsirkan Al-Qur’an, dalam menguraikan, menerangkan dan menjelaskan nama dan sifat Allah.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani semua hal yang disifatkan rasulullah bagi Allah dalam hadits-hadits yang shahih dan diterima oleh para ulama. Hukum As-Sunnah sama dengan hukum Al-Qur’an dalam menetapkan ilmu, keyakinan : ‘aqidah (i’tiqad) dan amalan, karena As-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah menurut hakikatnya yang sesuai dengan keagungan dan kemulian-Nya.

Sebagaimana firman Allah :
 “Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunnah) kepadamu” (QS. An-Nisaa’ : 113).
Dan Allah telah mengajarkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunnah)” (QS. Al-Baqarah : 129).
Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl : 44).

Pada firmanya yang lain :
Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkanagar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmad bagi kaum yang beriman.” (QS. An-Nahl : 64)

Dan apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang diharamkan maka jauhkanlah.” (QS. Al-Hasyr : 7)
Dan sabda Rasulullah :
  “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah) bersamany.” (HR. Abu Dawud (no. 4604), Ahmad (IV/131) dan al-ajurri dalam kitab asy-syari’ah, dari sahabat al-miqdam bin ma’di karib. Hdits ini Shahih).

Maka, segala sesuatu yang telah dijelaskan oleg sunnah Rasulullah tentang sifat-sifat Allah, maka sesungguhnya Al-Qur’an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Nabi, sebagaimana yang disebutkan dalam firmanya :
  “Dan tiadalah yang diucapkanya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). ” (QS. An-Najm : 3-4)

Imam Ahmad berkata tentang hadits-hadits mengenai sifat Allah :
 “Kita mengimani dan meyakininya dengan tidak menolak sedikit pun daripadanya, jika isnadnya shahih” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (III/502 no.777)).

Kedua belas :
  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menetapkan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Allah SWT

Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari sifat-sifat Dzatiyah Allah yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah ini sebagaimana sifat Allah lainnya diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Sifat ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah), akal dan fitnah. Telah mutawir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah diatas seluruh makhluk-Nya.

Diantara dalil dari Al-Qur’an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah :
  1. Firman Allah :
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang.” (QS. Al-Mulk : 16)
  1. Firman Allah :
Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada diatas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl : 50).
  1. Firman Allah :
Sucikanlah nama Rabb-mu yang mahatinggi.” (A-A’laa : 1).
  1. Firman Allah :
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur .” (QS. Faathir : 10)
  1. Pertanyaan Nabi kepada budak seorang wanita :
Dimana Allah ? ” ia menjawab : “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah bersabdah : “Siapa aku ?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah bersabdah : “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah.” (Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa’i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnu Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448), dari sahabat Mu’awiyah bin hakam as-Sulami.)
Terdapat dua permasalahan yeng terkandung di dalam hadits ini :
Pertama : disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang muslim : “Dimana Allah ?
Kedua : jawaban yang ditanya adalah : “Di (atas) langit
Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, bererti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad). (lihat mukhtashur ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.)
  1. Hadits tentang kisah Isra’ dan Mi’raj :
Yaitu sebuah hadits yang mutawir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnu Qayyim. Beliau berkata (lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, taqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.)Didalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah diatas ‘Arsy-Nya, diantaranya ungkapan : ‘Lalu aku dinaikkan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dua), ia pun memohon izin agar dibukakan (pintu langit)’(HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164(264)) dari sahabat Malik bin sha'sha'ah.) Kemudian naiknya Nabi hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb pada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”
  1. Jawaban Rasulullah kepada Dzul Khuwasyirah :
“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit” (HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri.)
Ibnu Abil ‘Izz berkata : “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai didalam sujud pun seseorang mendapat kecendrungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.” (diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki, lihat juga kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘aqiidah (II/347).)
 (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, syarah ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2006. Hal 188-200)




2.6  Macam-macam Ibadah

Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1.      Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:
a.      Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b.      Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c.       Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d.      Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1)      Wudhu                                                7)  Membaca al-Quran
2)      Tayammum                                         8)  I’tikaf
3)      Mandi hadats                                       9Shiyam ( Puasa )
4)      Adzan                                                 10Haji
5)      Iqamat                                                 11Umrah
6)      Shalat                                                   12)  Tajhiz al- Janazah


2.      Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah), yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4 :
a)   Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b)     Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c)      Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d)     Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

3.      Hikmah Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a.      Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana  untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa.
 “Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya.”  (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b.      Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c.       Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.( Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67.)

2.7    Dalil Macam-Macam Ibadah
1.    Dalil do’a :
firman Alah Ta’ala :                                                                 
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادته سيدخلون جهنم داخرين.
“Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdo’alah kamu kepadaku niscaya akan Ku perkenankan bagimu’. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beibadah kepadaKu pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60).
Dan diriwayatkan dalam hadits :
” الدعاء مخ العبادة “.
“Do’a itu adalah sari ibadah “ . [Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, kitab -Da’awat, bab 1. Dan maksud hadis ini: bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu’min, seperti: mencari nafkah yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll. Semestinya diiringi dengan permohonan ridha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu do’a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sari atau otak ibadah, karena senantiasa harus mengiringi gerak ibadah.]

2.      Dalil khauf (takut) :
Firman Allah Ta’ala :
فلا تخافوهم وخافوني إن كنتم مؤمنين.
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175).

3.      Dalil Raja’ (pengharapan) :
Firman Allah Ta’ala :
فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا.
“Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robb-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 110).

4.      Dalil Tawakkal (berserah diri):
Firman Allah Ta’ala :
وعلى الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين.
‘Dan hanya kepada Allah-lah kamu betawakkal, jika kamu benar-banar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23).
Dan firmannya :
ومن يتوكل على الله فهو حسبه .
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dialah Yang Mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq : 3).

5.      Dalil Raghbah (penuhminat), rahbah (cemas) dan khusyu’ (tunduk) :
Firman Allah Ta’ala :
إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا وكانوا لنا خاشعين.
“Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh minat (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’ : 90).
6.      Dalil khasy-yah (takut) :
Firman Allah Ta’ala :
فلا تخشوهم واخشوني.
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.” (QS. Al- Baqarah : 150).

7.      Dalil inabah (kembali kepada Allah) :
Firman Allah Ta’a’ala :
وأنيبوا إلى ربكم وأسلموا له من قبل أن يأتيكم العذاب ثم لا تنصرون.
“Dan kembalilah kepada Robb kalian serta berserah dirilah kepada-Nya (dengan mentaati perintah-Nya) sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat tertolong lagi.” (QS. Az-Zumar : 54).

8.      Dalil isti’anah (memohon pertolongan) :
Firman Allah Ta’ala :
إياك نعبد وإياك نستعين.
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 4).
Dan diriwayatkan dalam hadits :
” إذا استعنت فاستعن بالله “.
“Apabila kamu mohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah” . [Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shohih, kitab syafaat Al-Qiyamah War-Raqoiq Wal-Wara’, bab 59. dan riwayat Imam Ahmad Musnad (Beirut; Al- Maktab Al-Islami, 1403 H), jillid 1, hal, 293, 303, 307]

9.      Dalil isti’adzah (memohon perlindungan) :
Firman Allah Ta’ala :
قل أعوذ برب الفلق.
“Katakanlah : Aku berlindung kepada Robb Yang Menguasai subuh.” (QS. Al-Falaq: 1).
Dan firmanNya :
قل أعوذ برب الناس. ملك الناس.
“Katakanlah : ‘Aku berlindung kepada Robb Manusia, Penguasa manusia.” (QS. An- Nas : 1-2).
10.  Dalil istighatsah (memohon pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan) :
Firman Allah Ta’ala :
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم.
“(Ingatlah) tatkala kamu memohon pertolongan kepada Robb kalian untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (QS. Al-Anfal : 9).

11.  Dalil dzabh (menyembelih) :
Firman Allah Ta’ala :
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين. لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين.
“Katakanlah : ‘Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Robb semesta alam, tiada sesuatupun sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama kali berserah diri (kepadanya).” (QS. Al-An’am: 162-163)
Dan dalil dari sunnah :
” لعن الله من ذبح لغير الله “.
“Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan karena Allah” . [Hadits riwayat Muslim dalam Shohihnya, kitab Al-Adhahi, bab 8. dan riwyat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108 dan 152.]

12.  Dalil nadzar :
Firman Allah Ta’ala :
يوفون بالنذر ويخافون يوما كان شره مستطيرا.
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang siksaannya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan : 7).




Bab III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. 'Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.

Secara
garis besar ibadah dibagi menjadi dua :
1.      Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
2.      Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu:
pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.

Ruang lingkup 'ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Hanya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah 'ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.

Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.


Penutup
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca semua. Terutama dari Bapak Baeti Rohman M. Ag., selaku pembimbing kami dan teman-teman pada umumnya.

Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah.

Daftar Pustaka
1.      Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28
2.      Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6
3.      Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, hal. 17
4.      Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana. Hal. 278
5.      M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6
6.      Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5.
7.      M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1, Hal. 3
8.      Abduh Al manar, IBADAH DAN SYARI’AH, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82
9.      Yazid bin Abdul Qadir Jawas, syarah ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2006. Hal 188-200
10.  Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67
11.  Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, kitab -Da’awat, bab 1. Dan maksud hadis ini: bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu’min, seperti: mencari nafkah yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll. Semestinya diiringi dengan permohonan ridha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu do’a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sari atau otak ibadah, karena senantiasa harus mengiringi gerak ibadah.
12.  Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shohih, kitab syafaat Al-Qiyamah War-Raqoiq Wal-Wara’, bab 59. dan riwayat Imam Ahmad Musnad (Beirut; Al- Maktab Al-Islami, 1403 H), jillid 1, hal, 293, 303, 307
13.  Hadits riwayat Muslim dalam Shohihnya, kitab Al-Adhahi, bab 8. dan riwyat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108 dan 152.