Kata Pengantar
Puji dan
Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
“KONSEP IBADAH
DALAM ISLAM”.
Makalah
ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai
pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Jakarta, Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar
............................................................................................... ii
Daftar Isi
......................................................................................................... iii
Bab I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
...................................................................................................... 1
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Ibadah
...............................................................................................
2
2.2 Tujuan Ibadah
...................................................................................................... 4
2.3
Dasar-dasar Ibadah
............................................................................................. 5
2.4 Hakikat dan Tujuan Ibadah
................................................................................. 7
2.5 Syarat Diterimanya Ibadah ................................................................................. 8
2.6 Macam-macam ibadah
......................................................................................... 14
2.7 Dalil Macam-Macam Ibadah ................................................................................. 17
Bab III
Penutup
3.1 kesimpulan
.......................................................................................................... 20
3.2 penutup
.............................................................................................................. 21
3.3 Daftar pustaka ...................................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Seringkali
dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar
menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan
puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian
kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena
mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan
sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara
bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat
Mukhtasharah, hal. 28).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak
(lahir).
Dari
definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di
antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan
ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain
ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya
bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat diremehkan begitu saja, misalnya :
- Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan
tidak berdusta dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun
melontarkan perkataan yang bisa menyakiti hati.
- Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
- Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan
sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
- Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang
yang lebih tua dari kita.
- Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
- Menepati janji.
- Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf
nahi munkar.
- Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
- Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang
yang kehabisan bekal di perjalanan).
- Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat
tinggal kita.
- Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan
dimanapun kita berada.
- Membaca Al Qur’an.
- Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk
bagian dari ibadah.
Begitu
pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali
taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar
terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha
terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga
termasuk bagian dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul
Balagh hal. 6).
BAB II
P E M B A H A S A N
2.1 Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa arab
telah menjadi bahasa melayu yang terpakai dan dipahami secara baik oleh
orang-orang yang menggunakan bahasa melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah
bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan
dan merendahkan diri. Dalam istilah melayu diartikan: perbuatan untuk
menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga diartikan: segalla usaha lahir dan
batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan
keselarasan hidup, baikterhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun
terhadap alam semesta.(Amir
Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, hal.
17.)
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh ( al-tha’ah ), dan tunduk ( al-khudlu ). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak
dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. (Muhaimin,
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi
Islam, Jakarta: Kencana. Hal. 278)
Ini
sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu
adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.
Secara
etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun.
‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki
apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh
aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan
menghindarkan murkanya.
Manusia
adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik Allah, hidup
matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan
hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya:
“Dan
Aku tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (al-Zariyat/51:56)
Menurut
istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan
penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah
berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi, ibadah yang
diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah.
Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan
ghayah al-mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi tidak
mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau
patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan
beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya
kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
Menurut
uraiannya, Ibn Taimiyah sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang
sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya,
agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya,
yakni mewujudkan cinta kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin
besarlah cintanya kepada Allah.
Dari
beberapa keterangan yang dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah
yang disyari’atkan oleh Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1. engikat diri (iltizam) dengan
syari’at Allah yang diserukan oleh para rasul-Nya, meliputi perintah ,
larangan, penghalalan, dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada
Allah.
2. Ketaatan itu harus tumbuh dari
kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah yang paling berhak
untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
Dalam
pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya,
perkataan dan perbuatan lahir dan batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa,
zakat, haji, berkata benar dll. Jadi meliputi yang fardhu, dan tathawwu’, muammalahbahkan
akhlak karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah.
2.2 Tujuan Ibadah
Manusia, bahkan seluruh
mahluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah hamba-hamba Allah. Hamba
sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah mahluk yang dimiliki. Kepemilikan
Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutklak dan sempurna, oleh karena itu
mahluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya kecuali
dalam hal yang oleh Alah swt. Telah dianugerahkan untuk dimiliki mahluk-Nya
seperti kebebasan memilih walaupun kebebasan itu tidak mengurangi kepemilikan
Allah. Atas dasar kepemilikan mutak Allah itu, lahir kewajiban menerima semua
ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. [M.
Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA
KETAHUI, Hal.6.]
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di
dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan
oleh Allah untuk beribadahhal ini dapat difahami dari firman Allah swt. :
“maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), da bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepad kami.”(QS al-Mu’minun:115)
Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia,
maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya
manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.[Zakiyah
Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1,
Hal. 5.]
2.3 Dasar-dasar Ibadah
Ibadah
harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi
larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda,
“Ada
tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan
manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang
lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan
bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya,
sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Bukhari dan Muslim, dari Anas
bin Malik)
Seorang
hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1. Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia
mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2. Maqam tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia
tidak mencintai seseorang melainkan hanya karena Allah. Ia harus mampu
membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci Allah, baik yang berkaitan
dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3. Maqam daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman).
Hendaknya ia membenci segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana
ia membenci jika dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya,
cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2. Jihad dan berjuang di jalan Allah
dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit
pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam
beribadah, ia harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar
menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam
kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan
senantiasa khusuk di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu
memelihara dan menjaga ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa
menjadi virus ibadah.
Adapun
rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
1)
Seorang
hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2)
Seorang
hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka
kepada-Nya.
3)
Hendaknya
hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa
bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat
lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan
lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk
berlari kembali kepada Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa
takut yang disertai dengan kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa,
dan cinta yang senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk
memperoleh apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang
hamba dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna.
Seorang
hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak
boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah
diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak
boleh putus asa dalam mengharap rahmat dari Allah.
(M. Quraisy
Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI,
(Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1, Hal. 3)
Ketika
ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah,
sebaiknya ia segera menyaksikan karunia dan rahmat Allah.
Sesungguhnya, rahmat-Nya jauh lebih luas daripada
segala sesuatu.
Ada
beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1) Kesaksian seorang hamba atas
karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas hamba - hamba-Nya.
2)
Kehendak
yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
3)
Menjaga
diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebaikan.
Ketiga
dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu
dari ketiga hal tersebut, akan menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan
tauhid. Beberapa ulama salaf berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada
Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang
beribadah kepada Allah hanya dengan rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan
barang siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari
golongan Khawarij. Namun, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa cinta,
harap, dan takut, maka ia mukmin yang mengesakan Allah.
2.4 Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah
terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat
luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus
memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari
pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu
akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat. [ Abduh Al manar, IBADAH
DAN SYARI’AH, (Surabaya: PT.
pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.]
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya. :
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
zarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)
Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah
adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya.
Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah
dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah
bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada
waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak
menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah
bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata
melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila
sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu
merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan
selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan
dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai
hamba Allah. Jika hal ini benar-benar
telah dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga
yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya.
Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT
dan menunggalkan-Nya
sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa
hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan merasa
akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin besar
ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah dirinya
dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak akan
mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari Allah
dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan hati.
2.5Syarat
Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah
perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada
suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang di tolak) sebagaimana sabdah Nabi :
“ Barang
siapa yag beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut
tertolak ” (HR. Al-Bukhari (no. 2697), Muslim (no.1718 (18)) dan Ahmad
(VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah).
“(tidak demikian) bahkan barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala
di sisi Rabb-Nya dan pada diri mereka tidak ada rasa takut dan tidak (pula)
mereka bersedih hati ” (QS. Al-Baqarah : 112).
“menyerahkan
diri,” artinya : “inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali
hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia
syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana
Allah berfirman :
“....maka
barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-Nya maka hendaknya ia
mengerjakan amal shalib dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam
beribadah kepada Rabb-Nya.” (QS. Al-Khafi : 110)
Yang demikian
adalah menifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa Illallaah, Muhammad Rasuulullah.
Pada yang
pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib
membenarkan dan mempercayai beritanya serta menaati perintahnya. Beliau telah
menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau melarang
kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa semua bid’ah itu
sesat. (Al-Ubuudiyyah hal : 221-222 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq
: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid).
Ibadah di
dalam islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia,
dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah
itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang
tidak dapat di hitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam islam semua adalah
mudah.
Diantara
keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati dan
mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.
Kesepuluh :
Mengambil lahiriyah Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan
prinsip dasar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ahlus Sunnah
wal jama’ah menjadikan Al-Qur’an dan AS-Sunnah adalah satu-satunya sumber untuk
mengambil atau mempelajari ‘aqidah islam. Seorang muslim tidak boleh mengganti
keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an
dan AS-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang muslim, dan apa yang
dinafikan (ditolak) oleh keduanya,
maka wajib bagi seorang muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada
hidayah dan kebaikan melainkan dengan cara berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan
AS-Sunnah.
Allah berfirman
:
“dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata. ” (QS. Al-Ahzaab : 36)
Sikap orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus mendengar dan taat, serta tidak
boleh menolak apa yang datang ari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah
menyatakan bahwasannya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti
Rasulullah, tidak dikatakan beriman.
Allah
berfirman :
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima denga sepenuhnya.” (QS.
An-Nissa’ : 65)
Allah juga
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk kembali kepada Al-Qur’an dan
AS-Sunnah, manakala mereka perselisihkan. Simaklah firmanya berikut ini :
“Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasull (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman keada Allah dan hari kaemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nissa’ : 59)
Imam Mujahid
(wafat th. 103 H) berkata ketika menafsirkan ayat ini : “kembali kepada Allah
maksudnya adalah kembali kepada kitab Allah. Sedangkan kembali kepada Rasull
maksudnya adalah kembali kepada sunnah rasulullah.” Penafsiran seperti ini juga
dilakukan oleh para ulama salaf lainnya. (Tafsiirutb Tbabari (IV/154, no.
9884-9886 ) dan Tafsiir Ibni Katsiir (I/568).)
Hal terbesar
yang membedakan antara salaf dengan yang lain dari golongan pelaku bid’ah (ahli
bid’ah) adalah Salaf yang menghormati
dan menjunjung tinggi sunnah Nabi. Sunnah bagi mereka adalah penjelasan,
penafsir dan pengurai Al-Qur’an, baik dalam bidang ‘aqidah maupun syari’ah.
Oleh karena itu, Ahlus sunnah wal jama’ah mengambil lahiriyah hadits, tidak
menakwilkan werta tidak menolaknya dengan argumentasi yang lemah, sebagaimana
ahli kalam yang mengatakan, bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits ahad
yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar ilmu da keyakina. Ucapan ahli kalam ini
sesat dan menyesatkan.
Imam
Asy-Syafi’i melihat bahwa didalam syari’ah, kedudukan As-Sunnah adalah seperti
Al-Qur’an. Apa yang ditetapkan dalam As-Sunnah adalah seperti apa yang
ditetapkan di dalam Al-Qur’an, dan apa yang diharamkan oleh As-Sunnah sama
dengan apa yang diharamkan oleh Al-Qur’an. Sebabnya adalah karena keduanya
berasal dari Allah. (manhajul Imam Asy-Syafi’i fii istbatil ‘aqiidah (I/86)).
Kesebelas :
Sunnah Nabi menafsirkan Al-Qur’an, dalam menguraikan,
menerangkan dan menjelaskan nama dan sifat Allah.
Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah mengimani semua hal yang disifatkan rasulullah bagi Allah dalam
hadits-hadits yang shahih dan diterima oleh para ulama. Hukum As-Sunnah sama
dengan hukum Al-Qur’an dalam menetapkan ilmu, keyakinan : ‘aqidah (i’tiqad) dan
amalan, karena As-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allah menurut hakikatnya yang sesuai dengan keagungan dan
kemulian-Nya.
Sebagaimana
firman Allah :
“Dan
Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunnah) kepadamu”
(QS. An-Nisaa’ : 113).
“Dan Allah telah mengajarkan kepadamu
Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunnah)” (QS. Al-Baqarah : 129).
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar
engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl : 44).
Pada firmanya
yang lain :
“Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) ini, melainkanagar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmad bagi kaum yang
beriman.” (QS. An-Nahl : 64)
“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepadamu,
maka ambillah. Dan apa yang diharamkan maka jauhkanlah.” (QS. Al-Hasyr : 7)
Dan sabda
Rasulullah :
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan yang sepertinya
(yaitu As-Sunnah) bersamany.” (HR. Abu Dawud (no. 4604), Ahmad (IV/131) dan
al-ajurri dalam kitab asy-syari’ah, dari sahabat al-miqdam bin ma’di karib.
Hdits ini Shahih).
Maka, segala
sesuatu yang telah dijelaskan oleg sunnah Rasulullah tentang sifat-sifat Allah,
maka sesungguhnya Al-Qur’an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk
juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Nabi, sebagaimana
yang disebutkan dalam firmanya :
“Dan tiadalah
yang diucapkanya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu
tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). ” (QS. An-Najm : 3-4)
Imam Ahmad
berkata tentang hadits-hadits mengenai sifat Allah :
“Kita mengimani dan meyakininya dengan tidak
menolak sedikit pun daripadanya, jika isnadnya
shahih” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (III/502 no.777)).
Kedua belas :
Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah menetapkan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Allah SWT
Sifat al-‘Uluw
merupakan salah satu dari sifat-sifat Dzatiyah Allah yang tidak terpisah
dari-Nya. Sifat Allah ini sebagaimana sifat Allah lainnya diterima dengan penuh
keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sifat ini
ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur’an dan
As-Sunnah), akal dan fitnah. Telah mutawir dalil-dalil yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah diatas seluruh
makhluk-Nya.
Diantara dalil
dari Al-Qur’an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah :
- Firman Allah :
“Apakah kamu merasa
aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi
bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang.” (QS. Al-Mulk :
16)
- Firman Allah :
“Mereka takut
kepada Rabb mereka yang berada diatas mereka dan mereka melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl : 50).
- Firman Allah :
“Sucikanlah nama
Rabb-mu yang mahatinggi.” (A-A’laa : 1).
- Firman Allah :
“Barangsiapa yang
menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah
naik perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang
yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat
mereka akan hancur .” (QS. Faathir : 10)
- Pertanyaan Nabi kepada budak seorang wanita :
“Dimana Allah ? ”
ia menjawab : “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah bersabdah : “Siapa
aku ?” “Engkau adalah Rasulullah,”
jawabnya. Rasulullah bersabdah : “Merdekakanlah
ia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah.” (Hadits shahih riwayat Muslim
(no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa’i
(III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnu Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad
(V/447-448), dari sahabat Mu’awiyah bin hakam as-Sulami.)
Terdapat dua permasalahan yeng terkandung di dalam hadits
ini :
Pertama
: disyari’atkan untuk bertanya
kepada seorang muslim : “Dimana Allah ?”
Kedua
: jawaban yang ditanya adalah :
“Di (atas) langit”
Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini,
bererti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad). (lihat mukhtashur ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani.)
- Hadits tentang kisah Isra’ dan Mi’raj :
Yaitu sebuah hadits yang mutawir, sebagaimana disebutkan
oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam
Ibnu Qayyim. Beliau berkata (lihat
Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyah (hal.
55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, taqiq
Basyir Muhammad ‘Uyun.)“Didalam
beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah diatas ‘Arsy-Nya,
diantaranya ungkapan : ‘Lalu aku
dinaikkan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke
langit yang terendah (langit dua), ia pun memohon izin agar dibukakan (pintu
langit)’(HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164(264)) dari sahabat
Malik bin sha'sha'ah.) Kemudian
naiknya Nabi hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya,
lalu didekatkan oleh Rabb pada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”
- Jawaban Rasulullah kepada Dzul Khuwasyirah :
“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya
oleh Allah yang ada di atas langit” (HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no.
1064) dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri.)
Ibnu Abil ‘Izz berkata : “Ketinggian Allah di samping
ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah.
Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat
kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka
perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah pastilah hatinya mengarah
ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju
ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun
yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai didalam
sujud pun seseorang mendapat kecendrungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang
pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke
arah kiri dan kanan atau ke bawah.” (diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki,
lihat juga kitab Manhajul Imaam
asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘aqiidah (II/347).)
(Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, syarah ‘aqidah ahlus sunnah wal
jama’ah, Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2006. Hal 188-200)
2.6 Macam-macam
Ibadah
Ditinjau
dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan
sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1.
Ibadah
Mahdhah,
artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba
dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a.
Keberadaannya
harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Qur’an maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas
wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b.
Tata
caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul
oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan kami tidak mengutus seseorang
Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul
kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (QS.
Al-Hasyr: 7)
Jika melakukan ibadah bentuk ini
tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka
dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer
disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa
sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi
perintah Rasul-rasul mereka.
c.
Bersifat
supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena
bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami
rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan,
tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan
oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun
yang ketat.
d.
Azasnya
“taat”, yang
dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau
ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya,
semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan
salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah yang
termasuk mahdhah, adalah:
1) Wudhu 7) Membaca al-Quran
2) Tayammum 8) I’tikaf
3) Mandi hadats 9) Shiyam ( Puasa )
4) Adzan 10) Haji
5) Iqamat 11) Umrah
6) Shalat 12) Tajhiz al- Janazah
2.
Ibadah
Ghairu Mahdhah,
(tidak murni semata hubungan dengan Allah), yaitu ibadah yang di samping sebagai
hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara
hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4 :
a)
Keberadaannya
didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk
ini boleh diselenggarakan.
b)
Tata
laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini
tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal
yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya
disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah
dhalalah.
c)
Bersifat
rasional,
ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d)
Azasnya
“Manfaat”, selama
itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
3.
Hikmah
Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah
“Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu
salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya
diwujudkan dengan:
a.
Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke
arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat
dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke
sana untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang
diibadati itu Esa.
“Di mana pun orang shalat ke arah sanalah
kiblatnya.”
(QS. Al-Baqarah 2: 144).
b.
Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan
pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk.
Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah
putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c.
Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau
bahasa). Karena
Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan
ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa,
apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca
al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang
membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.( Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah
Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67.)
2.7 Dalil
Macam-Macam Ibadah
1. Dalil do’a :
firman Alah Ta’ala :
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادته
سيدخلون جهنم داخرين.
“Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdo’alah kamu kepadaku
niscaya akan Ku perkenankan bagimu’. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan
untuk beibadah kepadaKu pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (QS.
Ghafir: 60).
Dan diriwayatkan
dalam hadits :
” الدعاء مخ العبادة “.
“Do’a itu adalah sari ibadah “ . [Hadits riwayat
At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, kitab -Da’awat, bab 1. Dan maksud hadis
ini: bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang
dilakukan seorang mu’min, seperti: mencari nafkah yang halal untuk keluarga,
menyantuni anak yatim dll. Semestinya diiringi dengan permohonan ridha Allah
dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu do’a (permohonan dan
pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai sari atau otak ibadah, karena senantiasa harus mengiringi gerak ibadah.]
2. Dalil khauf (takut) :
Firman Allah Ta’ala :
فلا تخافوهم وخافوني إن كنتم مؤمنين.
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175).
3. Dalil Raja’ (pengharapan) :
Firman Allah Ta’ala
:
فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة
ربه أحدا.
“Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan
Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robb-Nya.” (QS. Al-Kahfi:
110).
4. Dalil Tawakkal (berserah diri):
Firman Allah Ta’ala
:
وعلى الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين.
‘Dan hanya kepada Allah-lah kamu betawakkal, jika kamu
benar-banar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23).
Dan firmannya :
ومن يتوكل على الله فهو حسبه .
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka
Dialah Yang Mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq : 3).
5. Dalil Raghbah (penuhminat), rahbah (cemas) dan khusyu’ (tunduk) :
Firman Allah Ta’ala
:
إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا وكانوا
لنا خاشعين.
“Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam
(mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh
minat (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu
selalu tunduk hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’ : 90).
6. Dalil khasy-yah (takut) :
Firman Allah Ta’ala
:
فلا تخشوهم واخشوني.
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku.” (QS. Al- Baqarah : 150).
7. Dalil inabah (kembali kepada Allah) :
Firman Allah
Ta’a’ala :
وأنيبوا إلى ربكم وأسلموا له من قبل أن يأتيكم العذاب ثم لا
تنصرون.
“Dan kembalilah kepada Robb kalian serta berserah dirilah
kepada-Nya (dengan mentaati perintah-Nya) sebelum datang azab kepadamu,
kemudian kamu tidak dapat tertolong lagi.” (QS. Az-Zumar : 54).
8.
Dalil isti’anah (memohon pertolongan) :
Firman
Allah Ta’ala :
إياك نعبد وإياك نستعين.
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada
Engkau-lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 4).
Dan diriwayatkan
dalam hadits :
” إذا استعنت فاستعن بالله “.
“Apabila kamu mohon pertolongan, maka memohonlah
pertolongan kepada Allah” . [Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’
Ash-Shohih, kitab syafaat Al-Qiyamah War-Raqoiq Wal-Wara’, bab 59. dan riwayat
Imam Ahmad Musnad (Beirut; Al- Maktab Al-Islami, 1403 H), jillid 1, hal, 293,
303, 307]
9. Dalil isti’adzah (memohon perlindungan) :
Firman Allah Ta’ala
:
قل أعوذ برب الفلق.
“Katakanlah : Aku berlindung kepada Robb Yang Menguasai
subuh.” (QS. Al-Falaq: 1).
Dan firmanNya :
قل أعوذ برب الناس. ملك الناس.
“Katakanlah : ‘Aku berlindung kepada Robb Manusia,
Penguasa manusia.” (QS. An- Nas : 1-2).
10. Dalil
istighatsah (memohon pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan) :
Firman Allah Ta’ala :
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم.
“(Ingatlah) tatkala kamu memohon pertolongan kepada Robb
kalian untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu.”
(QS. Al-Anfal : 9).
11. Dalil dzabh (menyembelih) :
Firman Allah Ta’ala
:
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين. لا شريك
له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين.
“Katakanlah : ‘Sesunggunya shalatku, sembelihanku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Robb semesta alam, tiada sesuatupun
sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang-orang yang pertama kali berserah diri (kepadanya).” (QS. Al-An’am:
162-163)
Dan dalil dari
sunnah :
” لعن الله من ذبح لغير الله “.
“Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan
karena Allah” . [Hadits riwayat Muslim dalam Shohihnya, kitab Al-Adhahi, bab 8.
dan riwyat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108 dan 152.]
12. Dalil nadzar :
Firman Allah Ta’ala
:
يوفون بالنذر ويخافون يوما كان شره مستطيرا.
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang
siksaannya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan : 7).
Bab III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah
ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula.
Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara
langsung. 'Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana
yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat
dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang
dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan
antara orang ramai dengan Allah.
Secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua :
1.
Ibadah murni
(mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt.
Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta
terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari
masing-masing individu.
2.
Ibadah
Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang
mempunyai tiga tanda yaitu:
pertama,
niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik
tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup 'ibadah
di dalam Islam amat luas sekali. Hanya merangkumi
setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang
bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah 'ibadah menurut
Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Manusia diciptakan
Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa
pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah.
Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia
terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi
kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.
Penutup
Demikianlah makalah
sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak
ditemui kesalahan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca semua. Terutama
dari Bapak Baeti Rohman M. Ag., selaku pembimbing kami dan teman-teman pada umumnya.
Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya.
Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah.
Daftar Pustaka
1.
Tanbihaat
Mukhtasharah, hal. 28
2.
Al
‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6
3.
Amir
Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, hal.
17
4.
Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta:
Kencana. Hal. 278
5.
M.
Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA
KETAHUI, Hal.6
6.
Zakiyah
Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1,
Hal. 5.
7.
M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB
MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati,
2008), Cet. Ke-1, Hal. 3
8.
Abduh Al manar, IBADAH DAN SYARI’AH, (Surabaya: PT. pamator, 1999),
Cet. Ke-1, Hal. 82
9.
Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, syarah ‘aqidah
ahlus sunnah wal jama’ah, Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2006. Hal
188-200
10. Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
Cet. Ke-2, Hal. 67
11. Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, kitab
-Da’awat, bab 1. Dan maksud hadis ini: bahwa segala macam ibadah, baik yang
umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu’min, seperti: mencari nafkah
yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll. Semestinya diiringi
dengan permohonan ridha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu
do’a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai sari atau otak ibadah, karena senantiasa harus mengiringi
gerak ibadah.
12. Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shohih, kitab
syafaat Al-Qiyamah War-Raqoiq Wal-Wara’, bab 59. dan riwayat Imam Ahmad Musnad
(Beirut; Al- Maktab Al-Islami, 1403 H), jillid 1, hal, 293, 303, 307
13. Hadits riwayat Muslim dalam Shohihnya, kitab Al-Adhahi, bab 8.
dan riwyat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108 dan 152.